ADAT ISTIADAT BALI

Sabtu, 2008 Juli 26

“Tumpek Wariga” dan Ironi Kesadaran Orang Bali kepada Ibu Bumi


Kaki Bentuyung,
titiang mapangarah,
buin selae dina Galungan,
mabuah nyen apang nged,
nged, ngeeeed!

SABAN kali perayaan hari Tumpek Pengatag, sekelumit doa sederhana itu senantiasa terngiang di telinga saya. Ketika masih kecil, ibu memang sering mengajak saya ikut mengupacarai sejumlah pepohonan di rumah, terutama yang menghasilkan buah yang bisa dimakan. Doa itu mengandung pengharapan agar sang pohon bisa berbuah lebat (nged adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘lebat’) sehingga bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25 hari berikutnya.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag –dikenal juga sebagai Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh– dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dkonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif.
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi.
Hingga tahun 2003 kerusakan hutan din Bali sudah mencapai 50 % dari tegakan ideal, sehingga luas hutan di Bali hanya sekitar 18 %. Padahal, menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas hutan yang ditetapkan adalah 39 % dari luas Pulau Bali yang mencapai 5.632,86 Km2. Menyusul tingginya mobilitas penduduk, Bali juga mulai mengalami krisis air. Hal ini dikarenakan mengering dan mengecilnya debit air sebagian dari sekitar 500 mata air dan sungai yang mengalir sepanjang tahun cenderung menjadi sungai tadah hujan. Kondisi ini juga diperparah lagi dengan alih fungsi sawah irigasi yang mencapai 1.000 hingga 3.000 ha per tahun serta turunnya kesuburan tanah dengan tersisanya zat hara hanya sekitar 22 %.
Situasi serbaparadoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental. * I Made Sujaya

Baca Selengkapnya..

“Caru”, Menjaga Harmoni Manusia dan Alam


HAMPIR di setiap wilayah desa adat, banjar serta pekarangan rumah orang Bali pernah digelar upacara pecaruan. Awam memahami upacara pecaruan sebagai persembahan kepada bhuta kala sehingga tidak mengganggu kehidupan umat manusia. Namun, secara filosofis, caru sejatinya bermakna mengingatkan manusia untuk tiada henti menjaga harmoni dengan alam.
—————————-

I NYOMAN Singgin Wikarman dalam buku Caru Palemahan dan Sasih menjelaskan kata caru berarti ‘bagus’, ‘cantik’, ‘harmonis’. Mecaru, kata Singgin Wikarman, dimaksudkan untuk memercantik, memerbagus dan mengharmoniskan. Yang dipercantik atau diharmoniskan adalah alam, baik itu lingkungan maupun musim.
Ketua Sabha Walaka Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Drs. I Ketut Wiana mengungkapkan agama Hindu memang senantiasa mengingatkan dan mengajarkan manusia untuk senantiasa harmonis dengan alam. Untuk mencapai kesejahteraan manusia, patut dilakoni dengan menjaga kesejahteraan alam.
“Kalau alam sejahtera, manusia juga akan sejahtera,” kata Wiana yang juga dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar.
Ketut Wiana menambahkan alam sudah memberikan begitu banyak kepada manusia. Karenanya, manusia patut mengembalikan pemberian alam itu yang disimbolkan melalui upacara pecaruan. Karena itu, upacara caru dalam tingkatan besar dinamakan tawur. Kata tawur dalam bahasa Bali bermakna ‘membayar’ atau ‘mengembalikan’. Seberapa besar manusia mengambil dari alam, sebesar itu pula seyogyanya manusia mengembalikan kepada alam.
Bila mengikuti konsepsi caru semacam itu, sepatutnya alam Bali tidak sampai rusak hingga seperti saat ini. Semestinya, alam Bali bisa senantiasa terjaga, harmonis. Kenyataannya, semua nungkalik-nyungsang, terbalik, serbaparadoks. Setiap tahun hutan dibabat, pohon-pohon besar ditebangi. Hewan-hewan bebas pun kian punah hingga menjadi hewan langka. Belakangan, air di danau dan mata-mata air di berbagai tempat di Bali semakin menyusut.
Keadaan semacam ini, menurut pengamat lingkungan dari Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. I Made Merta karena pemahaman mengenai filosofis caru tidak anut dan sesuai dengan perilaku. Caru yang sejatinya merupakan usaha nyata menjaga kelestarian dan keharmonisan alam hanya berhenti sebatas upacara atau banten semata.
“Sepatutnya, caru yang filosofisnya untuk menjaga keharmonisan alam, harus seimbang antara caru sekala dengan niskala. Jika secara niskala sudah diwujudkan lewat upacara, secara sekala mesti diwujudkan dengan aksi nyata menjaga lingkungan. Sederhananya, jangan membuang sampah sembarangan, jangan sembarangan menebangi pohon serta ingat menanam pohon atau mengadakan penghijauan,” beber Merta.
Ketut Wiana juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, mengharapkan alam agar senantiasa terjaga kelestariannya dan bisa harmonis dengan kehidupan umat manusia tidak bisa hanya dengan upacara semata. Patut juga diparipurnakan dengan perilaku yang sungguh-sungguh untuk menyayangi dan merawat alam.
“Bukan upacaranya yang salah, tetapi kitalah yang belum tuntas memahami apa sesungguhnya pesan-pesan agama di balik upacara itu sehingga kita terjebak pada pemahaman sempit menganggap upacara itu segala-galanya. Padahal, beragama itu sesungguhnya bagaimana kita berperilaku yang baik, anut dan harmonis,” kata Wiana.
Ketua Kelompok Studi Lingkungan Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Univérsitas Udayana (Unud), Drs. Ketut Gede Dharma Putra, M.Sc., juga sepakat dengan Wiana. Pelaksanaan caru dengan wujud upacara sebaiknya jangan dihalang-halangi. Pasalnya, ritual juga menjadi jalan bhakti. Apalagi jika jalan upacara itu didasari dengan ketulusan dan kejujuran hati. Namun, patut diupayakan suatu langkah nyata pula agar pelaksanaan upacara itu tidak malah menimbulkan masalah lingkungan.
“Seperti sampah-sampah upacara itu, setelah upacara selesai sebaiknya bisa diolah atau dibakar. Kalau dulu mungkin mudah membuang sampah-sampah upacara itu karena lahan banyak. Kini lahan semakin sedikit, itu tentu menjadi masalah tersendiri,” kata Dharma Putra.
Karena itulah, Dharma Putra menyarankan agar di masing-masing desa pakraman disediakan insinerator atau alat untuk membakar sampah upacara itu. Selain itu, pemahaman masyarakat tentang pentingnya caru sekala dalam wujud laku nyata sehari-hari juga mesti semakin ditingkatkan. Hal ini memerlukan keteladanan yang tiada henti. (*)

Baca Selengkapnya..

Sabtu, 2008 Juli 19

Pecalang janganlah Garang!


MADE Kerta menggumam setelah dibentak seorang pecalang saat melintas di salah satu ruas jalan di wilayah Badung. Ketika itu, jalan ditutup karena pada salah satu pura di jalan tersebut sedang melaksanakan pujawali (upacara hari kelahiran pura). Made Kerta diminta untuk berbalik arah mencari jalan yang lain. Namun, pecalang tersebut menyuruh dengan nada suara tinggi, membentak-bentak.
“Lagaknya jadi pecalang, sedikit-sedikit main bentak. Katanya ngayah (mengabdi) agar yadnya (upacara) berjalan dengan baik dan diberkahi, mengapa mesti membentak,” gumam Made Kerta sembari memutar arah kendaraannya mencari jalan alternatif.
Sejatinya, banyak orang yang pernah kena bentak pecalang. Entah apa yang menyebabkan, setiap kali menutup jalan, pecalang susah sekali menunjukkan senyum, bersikap ramah. Cepat sekali sang pecalang itu marah, garang dan main bentak.

“Pecalang sebagai salah satu pengayah di desa, sejatinya ikut ngeyasayang (mendoakan) agar pelaksanaan yadnya sukses, lancar, dan penuh berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seyogyanya, pecalang juga ikut mabrata (mengendalikan diri). Tidak boleh cepat marah atau pun garang,” kata Kadek Ardana, seorang warga di Klungkung.
Yang juga penting untuk diperhatikan mengenai masalah penutupan jalan. Patut diwaspadai agar pecalang tidak merasa bangga bisa menutup jalan. Karena itu, ketika hendak menutup jalan, pecalang semestinya berkoordinasi dulu dengan pihak kepolisian. Pasalnya, pihak kepolisianlah yang memegang tanggung jawab keamanan umum. Jalan merupakan fasilitas umum, milik publik, banyak yang menggunakan sehingga juga menjadi tanggung jawab pihak kepolisian.
Benar memang, pecalang sebagai pengaman desa adat agar suasana desa menjadi aman, nyaman dan tenteram. Namun, tugas dan tanggung jawabnya lebih kepada pelaksanaan yadnya adat serta agama. Bila pun pecalang juga diberikan kesempatan untuk turut berpartisipasi menjaga keamanan umum, tetap harus dalam koordinasi pihak kepolisian.
“Tugas utama pecalang memang sebagai polisi adat dan agama. Itu saja,” kata peneliti adat Bali, Wayan P. Windia dalam buku Pecalang: Perangkat Keamanan Desa Pakraman di Bali.
Kata pecalang diduga berasal dari kata cala dan celang. Celang berarti senantiasa waspada terhadap segala macam bahaya yang menghampiri. Karena itu, pecalang diharapkan senantiasa celang (bersikap awas) ketika mengadakan ronda menjaga keamanan wilayah desa adat.
Selain celang, pecalang juga diharapkan celing (cermat dan cerdik). Celing berarti senantiasa tahu dan paham akan keadaan desa agar bisa menghilangkan bahaya yang mengancam.
“Karena itu, orang yang celang dan celing, biasanya tidak sombong. Senantiasa bersikap santun, ramah dan bisa menjaga hubungan baik dengan setiap orang,” kata Windia.
Aturan mengenai tugas pokok dan fungsi pecalang yang bisa dijadikan pegangan bagi seluruh pecalang di Bali hingga kini memang belum ada. Yang ada baru di Gianyar yang dirumuskan ketika dilaksanakannya Semiloka Pecalang di Ubud pada tahun 2001 lalu. Inti tugas pokok dan fungsi pecalang yang disepakati dalam semiloka itu yakni pecalang mesti menjaga keamanan dan kenyamanan desa dalam mengajekkan Tri Hita Karana di desa adat.
Namun, jika dicermati, dalam Peraturan Daérah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sudah dijabarkan tentang tugas dan tanggung jawab pecalang yakni menjaga keamanan dan kenyamanan wilayah desa pakraman. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pecalang itu berkaitan dengan pelaksanaan adat dan agama.
Intinya, pecalang diarahkan untuk membantu prajuru desa dalam mewujudkan ketenteraman desa. Karena itulah, pecalang tidak boleh lepas dari awig-awig desa serta undang-undang dan peraturan negara serta daerah. (*)

Baca Selengkapnya..

Agar tetap “Macaling”, Pecalang mesti Teguh Pada “Sasana”


PECALANG mulai mengundang perhatian orang tatkala pelaksanaan Kongres Partai Demokrasi Indonesia pro-Mega di Sanur tahun 1998 silam. Dalam kongres tersebut, pecalang diberikan tugas menjaga keamanan agar pelaksanaan kongres bisa aman, tertib dan lancar. Benar memang, kongres berjalan lancar, aman dan tertib seperti yang diharapkan. Banyak orang pun kagum dengan pecalang. Pasalnya, di tengah-tengah massa yang emosi, pecalang bisa meredakannya. Dengan bahasa Bali yang halus, pecalang bisa membuat massa menjadi lebih tenang dan tertib.

Sejak saat itu, pecalang dipuji-puji. Banyak desa-desa adat yang membentuk pecalang. Jika dulu pecalang hanya bertugas menjaga pelaksanaan upacara adat dan agama di desa adat, belakangan pecalang mendapat tambahan tugas menjaga setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali.
Hingga kini, perdebatan mengenai perilaku pecalang ketika melaksanakan tugasnya masih terjadi. Apalagi ditemukan adanya satuan tugas partai politik (satgas parpol) yang juga menggunakan pakaian pecalang. Begitu juga tukang parkir di beberapa tempat juga menggunakan pakaian pecalang.
Kondisi semacam ini memunculkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Pecalang dirasakan mulai menyimpang dari sasana (tugas pokok dan fungsi)-nya. Pecalang pun diharapkan bisa kembali kepada tugas pokok dan fungsi awalnya yakni menjadi “polisi” adat dan agama.
Menurut Bendesa Desa Adat Kerobokan, Badung, AA Kompyang Sutedja, pecalang dibentuk sejatinya untuk membantu kelancaran, keamanan dan ketertiban pelaksanaan yadnya di desa adat. Selain itu, pecalang juga membantu prajuru bagian palemahan mewujudkan ketenteraman dan ketertiban di wilayah desa adat.
“Yang paling penting, pecalang ngayah di wilayah desa serta berdasarkan perintah dari bendesa adat. Pecalang tidak boleh melaksanakan tugas melewati wilayah desa adat serta tanpa perintah dari bendesa adat,” kata Kompyang Sutedja.
Di Desa Adat Legian juga tidak jauh berbeda. Di desa wisata yang tersohor itu, pecalang juga dimanfaatkan ketika ada upacara di desa. Di luar kepentingan itu, pecalang tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan.
“Kalau ada undangan untuk menurunkan pecalang, meskipun untuk kegiatan yang berhubungan dengan adat, agama dan budaya, tetapi berada di luar wilayah desa adat, mohon maaf, kami tidak bisa memenuhi karena itu di luar tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pecalang,” kata Bendesa Adat Legian, Wayan Widana.
Menurut Widana, pecalang sudah memiliki uger-uger (ketentuan-ketentuan) yang disepakati dan dihormati seluruh krama desa adat yang dituangkan melalui awig-awig. Ketentuan-ketentuan itu mesti dipegang teguh agar tidak menimbulkan persoalan kelak di kemudian hari.
“Kalau pengamanan umum kan sudah ada polisi maupun aparat keamanan lainnya. Pembagian tugas-tugasnya sudah jelas sehingga mesti dijaga oleh semua pihak,” kata Widana.
Apa yang dikemukakan Wayan Widana benar adanya, memang. Bendesa adat sebagai pimpinan puncak di desa adat mesti teguh dan tegas dengan ketentuan-ketentuan mengenai tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pecalang. Bendesa adat mesti bersikap tegas jika ada yang memanfaatkan pecalang untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan adat, agama dan budaya.
Mantan Bendesa Desa Adat Kuta, I Made Wendra mengungkapkan kini banyak godaan terhadap pecalang. Pasalnya, pecalang dirasakan cukup mataksu, berwibawa dan berpengaruh. Karenanya, banyak yang ingin memanfaatkan pecalang untuk kepentingan di luar adat, agama dan budaya. Atau, kepentingan lain itu kemudian dibungkus seolah-olah menjadi berkaitan dengan adat, budaya dan agama.
“Jika tidak teguh dengan sasana, tentu akan rusak jadinya. Kita semua patut berhati-hati, cerdas memilah-milah, mana yang memang menjadi tugas dan kewenangan pecalang, dan mana yang sesungguhnya tugas dan kewenangan polisi atau aparat keamanan lainnya. Jika kita ingin pecalang tetap mecaling, kita harus menempatkan pecalang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, tanggung jawab dan kewenangannya,” tandas Wendra yang kini sebagai Ketua Forum Kerukunan antarumat Beragama (FKAUB) Kecamatan Kuta.
Namun, Wendra juga meminta pemerintah turut menjaga taksu dan kewibawaan pecalang. Pemerintah jangan senantiasa melibatkan pecalang ketika melaksanakan kegiatan kendati pun dengan alasan partisipasi masyarakat. Mesti dipilah-pilah, apakah memang pantas dan anut pecalang dilibatkan atau tidak. Jika memang tidak, jangan memaksa pecalang untuk terlibat. (*)

Baca Selengkapnya..

Antara Simbol Pengikat Jiwa dan Keagungan


Tradisi Penggunaan Naga Banda dalam Pelebon Bangsawan di Bali

PELEBON Penglingsir (tetua yang juga diangap sebagai raja) Puri Ubud, Cokorda Agung Suyasa, Selasa (15/7) lalu yang berlangsung megah nan mewah memang menyedot perhatian orang. Tidak saja karena dalam upacara itu ditampilkan bade (menara) setinggi 28,5 meter dan seberat 11 ton, juga yang dianggap istimewa hadirnya Naga Banda, dua boneka raksasa berbentuk naga dengan ekor panjang. Memang, cukup jarang sebuah upacara pelebon diiringi dengan Naga Banda. Apa makna Naga Banda dalam pelebon serta mengapa hanya orang-orang tertentu yang “berhak” menggunakannya.
———————————–

NAGA Banda memang terkesan istimewa. Wajar saja, tidak dalam setiap upacara pelebon Naga Banda digunakan. Pun, tidak dalam setiap pelebon bangsawan Naga Banda bisa disaksikan.
“Yang berhak memakai Naga Banda adalah keturunan Dhalem Waturenggong atau yang diizinkan oleh keturunannya. Itulah haknya, dipakai atau tidak, terserah pada yang bersangkutan di kemudian hari,” kata Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudarta, pengasuh rubrik konsultasi tattwa (filsafat) agama Hindu di majalah Sarad.
Penulis buku-buku agama Hindu, almarhum I Gusti Ketut Kaler lebih merinci lagi mereka yang “berhak” itu. Menurutnya, selain keluarga Raja Gelgel/Klungkung yang “berhak” menggunakan Naga Banda adalah keluarga yang mendapat anugerah khusus dari Raja Gelgel/Klungkung serta Pedanda Budha.
Artinya, hanya bangsawan terpilihlah yang menggunakan Naga Banda dalam upacara pelebon-nya. Karena itu, wajar jika kemudian muncul kesan, Naga Banda sebagai simbol keagungan, simbol keistimewaan.
Namun, jika ditilik dari isitilahnya, Naga Banda mengandung arti sebagai pengikat atau pembelenggu (bandha). Dalam buku Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar?, Kaler menyebutkan Naga Banda sebagai simbolis mendiang raja yang memiliki ikatan erat dengan masyarakat, mempunyai pertalian yang intim dengan soal duniawiah material.
Sementara I Nyoman Singgin Wikarman mengungkapkan Naga Banda sebagai lambang keinginan. Betapa besar dan panjangnya keinginan atau cita-cita sang penguasa tunggal (raja).
Keinginan atau cita-cita yang besar dan panjang inilah yang harus dimatikan agar tidak menjadi penghalang bagi roh menuju sorga. Pembunuhan keinginan ini disimbolkan dengan ritus memanah Naga Banda yang dilakukan seorang sulinggih.
“Memanah Naga Banda berarti membunuh keinginan-keinginan sang Raja agar jangan merintangi perjalanan roh menuju sorga,” urai Singgin Wikarman dalam buku Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama).
Namun, Tjok Rai Sudarta kurang sependapat dengan Singgin Wikarman. Menurut Tjok Rai Sudarta, memanah Naga Banda bukan berarti membunuh naga tersebut, tetapi memberikan arah ke mana akan dituju. Itu sebabnya saat memanah Naga Banda pendeta melepas atau menunjukkan anak-anak panahnya ke semua atau sepuluh arah mata angin –ke delapan arah penjuru ditambah ke atas dan ke bawah. Karena pendeta itu sendiri tidak tahu entah arah mana nanti yang akan ditempuh oleh sang jiwa lewat Naga Banda itu, sesuai dengan karma yang bersangkutan.
“Naga Banda itu adalah kendaraan raja untuk mengikat jiwa untuk nanti diantar ke alam baka,” kata Tjok Rai Sudarta.
Karena itu, yang berhak memanah Naga Banda juga bukan sembarang pendeta. Menurut Tjok Rai Sudarta yang berhak melakukan tugas itu yakni pendeta yang mampu dan ditugaskan oleh nabe-nya yang sudah pernah melaksanakan ritual memanah Naga Banda yakni Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Astapaka.
Begitulah, Naga Banda menjadi istimewa, kendaraan khusus yang mengantar sang Raja menuju alam sunya. Namun, kendaraan yang paling istimewa tiada lain adalah karma. Bahkan, karmalah kendaraan yang paling jujur dan setia.

Ujian Dhalem Waturenggong

PENGGUNAAN Naga Banda dalam pelebon (kremasi) merupakan tradisi yang lahir pada zaman Gelgel, sekitar abad ke-15. Sejarah lahirnya tradisi penggunaan Naga Banda ini pun tergolong unik. Seperti kerap disebut dalam sumber-sumber babad, penggunaan Naga Banda itu bermula dari kisah Raja Gelgel sekitar abad ke-15, Dhalem Waturenggong yang menguji Dang Hyang Astapaka.
Dang Hyang Astapaka merupakan putra Dang Hyang Angsoka, kemenakan Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra). Pendeta ini sangat dikenal di Jawa dan disebut-sebut bisa mengetahui apa yang akan terjadi di kemudian hari atau bisa melihat sesuatu yang tidak tampak oleh orang awam. Orang Bali menyebut kemampuan itu sebagai dura darsana atau betel tingal.
Dhalem Waturenggong mendengar kabar tersebut. Sang Raja pun mengundang Dang Hyang Astapaka untuk datang ke Bali. Kebetulan saat itu Dhalem Waturenggong tengah melangsungkan upacara maligya.
Dang Hyang Astapaka mau datang ke Bali. Selain memenuhi undangan Dhalem Waturenggong juga untuk menjenguk pamannya, Dang Hyang Dwijendra yang sudah lama di Bali.
Dhalem Waturenggong penasaran dengan cerita soal kemampuan Dang Hyang Astapaka mengetahui apa yang akan terjadi. Dhalem Waturenggong pun menguji kesaktian Dang Hyang Astapaka. Sang Raja memerintahkan pembantunya untuk membuat sumur yang diberi penutup. Sebelum Dang Hyang Astapaka tiba, Raja memerintahkan agar ke dalam sumur itu dilemparkan seekor angsa dan sumur itu ditutup. Bila angsa itu bersuara, maka akibat gema pantulan dinding lubang, suaranya terdengar dahsyat dan jauh sekali berbeda dengan suara aslinya. Terlebih lagi bila didengar dari jarak agak jauh.
Tatkala Dang Hyang Astapaka tiba dan duduk di hadapan Raja, terdengar suara gemuruh dari dalam sumur tersebut. Dhalem Waturenggong pun bertanya kepada Dang Hyang Astapaka, apa gerangan suara gemuruh yang keluar dari sumur tersebut.
Dang Hyang astapaka menjawab, “Itu suara naga, Baginda.” Mendengar jawaban Dang Hyang Astapaka, raja dan semua yang hadir di tempat itu pun tertawa karena yakin bahwa angsalah yang dimasukkan ke dalam sumur. Sebaliknya Dang Hyang Astapaka bersikukuh bahwa itu adalah suara naga.
Untuk meyakinkan Dang Hyang Astapaka, Dhalem Waturenggong memerintahkan untuk membuka penutup sumur. Baru dibuka, ternyata yang keluar adalah seekor naga. Naga tersebut kemudian menghampiri Dang Hyang Astapaka dan melingkat di atas pangkuannya.
Dhalem Waturenggong dan semua yang hadir sontak terperanjat dan ketakutan. Raja pun menanyakan apa makna semua itu. Dang Hyang astapaka lalu menjelaskan bahwa naga itu adalah Naga Banda yang akan menjadi kendaraan Raja menuju alam baka.
Saat Dhalem Waturenggong wafat, dibuatkanlah Naga Banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya. Sejak saat itulah, upacara pelebon Raja Gelgel dan keturunannya menggunakan Naga Banda. Selain Raja, Pedanda Budha juga “berhak” menggunakan Naga Banda. Keluarga bangsawan yang mendapat anugerah dari Raja Gelgel pun diberi “hak” menggunakan Naga Banda.

Panjangnya 2,5 Km
NAGA
Banda memang diwujudkan dalam bentuk boneka naga berukuran raksasa. Namun, ukuran Naga Banda yang kini kerap dilihat orang sejatinya masih jauh lebih kecil dari ukuran seharusnya.
Penulis buku-buku agama Hindu, almarhum I Gusti Ketut Kaler dalam buku Ngaben: Mengapa Mayat Dibakar? menjelaskan panjang patung seekor Naga Banda seharusnya 1.600 depa (satu depa sama dengan satu rentangan tangan). Bila satu depa sama dengan sekitar 150 cm (rentangan tangan orang dewasa), maka Naga Banda ini panjangnya mencapai 2.400 meter atau hampir 2,5 km.
Bila memenuhi ketentuan itu, tentu Naga Banda akan menjadi sangat panjang. Hal ini tentu akan cukup merepotkan dalam pelaksanaan upacaranya. Selain itu, biaya yang dibutuhkan juga jauh lebih besar.
Karena itu, ukuran patung Naga Banda pun disiasati. Agar Naga Banda tidak terlalu panjang tetapi aturannya juga tidak dilanggar, maka ukuran yang digunakan adalah depa anak-anak. Badan sang naga dibuat formalitas dengan tali sederhana saja.
“Hanya kepala dan bagian tertentu serta ujung ekornya saja dibuat seindah mungkin. Bagian badan di tengah-tengah digulung hingga antara kepala dan ekor tetap memenuhi estetika yang serasi dan seimbang,” jelas Kaler.
Naga Banda akan diletakkan berdampingan dengan jenazah raja yang meninggal sejak menjelang dan sampai hari pabersihan. Penempatan Naga Banda pun ada aturannya dan bersifat mutlak. Kepala Naga Banda menghadap ke arah Kelod-Kauh (Barat Daya) serta ekornya di Kaja Kangin (Timur Laut).
“Dengan posisi itu, sawa mendiang bagaikan diikat oleh Naga Banda,” kata Kaler.
Kaja-Kangin merupakan daerah ulu (hulu) yang menurut pengider-ider dikuasai Sang Hyang Sambu. Sementara Kelod-Kauh merupakan daerah paling teben (hilir) dengan dewata yang berkuasa, Sang Hyang Ludra.
Pada hari pabersihan, Naga Banda bersama-sama kajang, bade dan perlengkapan pelebon lainnya di-pelaspas dan di-urip (“dihidupkan”). Menjelang pemberangkatan ke tunon (tempat pembakaran), Naga Banda dipanah oleh Ida Pedanda yang muput karya (pemimpin upacara).
Anak panah diarahkan ke sepuluh penjuru –delapan arah mata angin dan arah atas dan bawah. Namun, pemanahan Naga Banda ini biasanya hanya dilakukan secara simbolis.
Setelah selesai memanah Naga Banda, Ida Pedanda kemudian duduk di samping kiri Naga Banda. Di depannya telah disiapkan peralatan puja. Kemudian Naga Banda dan bade pun diarak perlahan-lahan menuju tempat pembakaran.
Selama perjalanan ke tempat pembakaran, sang pendeta menguncarkan puja yang disebut Puja Ananga Bayu Sutra sambil tangan kanannya memeluk bahu sang Naga Banda. Puja sang wiku selesai bersamaan dengan tibanya Naga Banda di tempat pembakaran. Setelah semua prosesi dilalui, Naga Banda bersama bade pun di-pralina (bakar). (*)

Baca Selengkapnya..

Jumat, 2008 Juli 18

Puri Ubud, Kemewahan Itu…


SELASA, 15 Juli 2008 lalu, Puri Ubud kembali melaksanakan pelebon (kremasi) besar-besaran menyusul meninggalnya penglingsir (tetua yang juga kerap sebagai ‘raja’) puri tersebut, Cokorda Agung Suyasa serta dua orang kerabatnya. Pelebon yang juga diikuti warga Ubud –istilah umum di kalangan masyarakat Bali, ngiring—ini konon menjadi hajatan pelebon terbesar, setidaknya selama 25 tahun terakhir. Prosesinya disiapkan berlangsung secara megah, mewah dan mengesankan. Pihak puri membuat bade (menara) setinggi 28,5 meter dan seberat 11 ton. Dihadiri para tokoh-tokoh puri se-Bali hingga Jawa, para politisi papan atas dari Jakarta dan diliput ratusan media dalam dan luar negeri.

Prosesi ritual yang megah dan mewah sesungguhnya bukan sesuatu hal yang aneh di Puri Ubud. Bahkan, telah pula menjadi suatu ciri tersendiri. Memang, antara puri dan warga di desa-desa yang menjadi inti atau pun pinggiran Ubud telah terbangun hubungan yang ‘’saling menguntungkan’’. Ketika puri melaksanakan suatu ritual tertentu, warga di desa-desa itu dengan rela ngayah, sebaliknya ketika desa-desa itu melaksanakan suatu ritual atau membangun pura, pihak puri pun datang dan sering tanpa ragu-ragu memberikan bantuan dana. Inilah yang menyebabkan eksistensi Puri Ubud terasa jauh masih lebih terpelihara dibandingkan puri-puri lainnya di Bali dalam masa modern dengan ciri budaya egaliternya.
Ida Anak Agung Gde Agung dari Puri Agung Gianyar dalam buku memoarnya yang berjudul, Kenangan Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali (1993) mencatat kemewahan dan kemegahan sudah sejak lama menjadi ciri Puri Ubud. Putra raja Gianyar yang juga cucu Cokorda Gde Sukawati, punggawa Ubud ini mengungkapkan ibunya yang kerap menceritakan segala kehidupan di Puri Ubud yang penuh kemewahan. Pesta pernikahan antara ibu dan ayahnya yang juga raja Gianyar, Ida Anak Agung Ngurah Agung yang dilaksanakan ketika Cokorda Gde Sukawati masih hidup digambarkan berlangsung sangat meriah sehingga sering menjadi bahan perbincangan orang.
Cokorda Gde Sukawati yang pada masa itu menjadi panglima perang tangguh kerajaan Gianyar dalam pemerintahan Dewa Manggis VII memang dikenal sebagai salah seorang yang terkaya di Bali. Kedudukan dan peranannya pun sangat menonjol dalam perkembangan politik di Bali Selatan pada paruh kedua abad XIX tatkala berhasil memenangi perang dengan pasukan Tabanan, Bangli, Negara bahkan Klungkung.
Sejatinya, ritual adat dan agama yang megah-mewah dan kolosal dengan mengerahkan ribuan orang serta biaya yang tidak sedikit memang menjadi salah satu penanda eksistensi puri-puri di Bali termasuk Puri Ubud. Ini sudah berlangsung sejak dulu. Antropolog Clifford Geertz dalam buku spektakulernya berjudul Negara Teater : Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas menyebut Bali pada abad XIX itu sebagai sebuah negara teater. Ritual nan megah dan mewah menjadi salah satu daya gerak perpolitikan puri. Raja-raja dan para pangeran disebut Geertz sebagai impresario-impresario, para pendeta sebagai sutradara serta para petani sebagai aktor pendukung, penata panggung termasuk penonton. Semua itu, berlangsung dalam suasana yang megah dan mewah. Bahkan, Geertz menyatakan, ritual-ritual itulah menjadi tujuan dari sebuah negara bukan alat semata-mata.
Kini, kendati pun puri sudah kehilangan dominasi dalam kekuasaan formal, ritual-ritual megah dan mewah masih terjadi di puri. Justru, melalui inilah puri menunjukkan eksistensinya. Di sisi lain, yang turut membuat segala ritual besar itu tetap terpelihara karena masyarakat di lingkungan puri sendiri masih “setia” menjaga hubungan dengan puri yang ditunjukkan dengan kerelaan mendukung dan menyukseskan pelaksanaan ritual tersebut.
Hal inilah sebagai sebuah indikator tentang betapa masih berpengaruhnya puri dalam dinamika kultural, termasuk juga politik di Bali. Karenanya, menjadi mudah dipahami mengapa para elite-elite politik pusat kerap menggaet puri sebagai sarana merengkuh dukungan luas dari masyarakat Bali. Puri di Bali memang masih menjadi patron, masih menjadi kiblat. * Sujaya

Baca Selengkapnya..

Senin, 2008 Juli 14

Hilangnya “Cokot”, Diingkarinya “Wayan”


Membincang Penggunaan Nama Khas Bali

HINGGA akhir tahun 80-an, mungkin tidak begitu sulit untuk mengenali orang Bali yang beragama Hindu. Cukup dengan melihat nama depannya, bila menggunakan Putu, Wayan, Made, Nengah, Nyoman atau Ketut, sudah bisa disimpulkan bahwa orang itu merupakan orang Bali. Begitu juga nama Ida Bagus, Ida Ayu, I Gusti, Desak, Anak Agung merupakan penanda identitas orang Bali dari golongan berkasta. Namun, kini mengenali orang Bali tak lagi semudah itu, tak lagi bisa hanya dengan melihat nama depannya. Pasalnya, tidak sedikit orang Bali beragama Hindu kini yang sudah tidak lagi menggunakan nama-nama depan khas semacam itu. Orang Bali sudah mulai menganggap bukan suatu keharusan untuk menggunakan nama Wayan di depan nama pokok anak pertamanya atau pun Made untuk anak keduanya. Malah, kecenderungan dua dasa warsa terakhir, tradisi warisan leluhur ini sudah mulai diingkari, mulai ditinggalkan.
——————————-

PUTU Edi Robin, seorang bapak muda asli Bali dengan amat sadar tidak lagi mengimbuhi nama depan khas Bali pada nama pokok dua orang anaknya. Putri pertamanya yang kini berusia lima tahun diberi nama Istacy Rosree Octivany Robin serta putra keduanya yang berusia dua tahun diberi nama Krisna Pratama Putra Robin. Tak ada nama depan Wayan atau Made.
Alasan Robin mengingkari tradisi pemberian nama depan ini semata-mata ingin melakukan perombakan terhadap apa yang sudah mapan. Bagi lelaki asal Buleleng, Bali Utara –daerah yang dikenal sebagai tempat pertama membiaknya desakralisasi kultur Bali– Bali mesti mengikuti kecenderungan dunia yang semakin mengglobal. Salah satunya bisa dimulai dengan membebaskan diri dari keterikatan penanda verbal identitas lokal yakni nama.
Robin bukanlah generasi pertama keluarga Bali yang mulai tidak mematuhi tradisi pemberian nama depan khas Bali itu. Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Erawan, S.E. (56), juga tidak lagi menyertakan nama depan khas Bali dalam nama anak-anaknya. Dari empat orang anaknya, semuanya langsung menunjuk kepada nama pokok yakni, Ngurah Indra, Mahendrawathi, Ngurah Agus Sanjaya serta Sukma Dewi.
Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat. Wayan diambil dari kata wayahan (tertua) sehingga digunakan sebagai nama depan untuk anak pertama. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan.
Sementara itu, Made diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan Nengah yang juga diambil dari kata tengah. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan Nyoman atau Komang yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar). Khusus untuk nama Nyoman ini konon mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Terakhir, anak keempat diberikan nama depan Ketut yang diambil dari kata ngetut (mengikuti atau mengekor). Bila keluarga Bali memiliki anak lebih dari empat, nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya.
Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. (63), nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.
Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali.
Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser. Dahulu, nama-nama yang mengikuti nama depan itu amatlah khas seperti Cokot, Reneng, Lempad, Sadru, Gejer dan lainnya. Rata-rata nama-nama itu diambil dari istilah keseharian atau pun fenomena-fenomena alam yang menyrtai kelahiran sang bayi. Terkadang pula, pilihan nama pokok itu amat sederhana dengan hanya mengubah vokal suku kata anak pertama agar mudah diingat seperti Saplag, Sapleg, Suplig atau Saplig.
Nama-nama unik dan otentik itu lebih menunjukkan respons orang Bali terhadap alam. Nama-nama yang digunakan memang dipilih berdasarkan fenomena alam yang menyertai kelahiran sang anak atau terkadang pengharapan sang orangtua terhadap anaknya kelak.
Namun, seiring perkembangan dunia yang begitu cepat, orang Bali pun memberi respons, salah satunya dengan pemberian nama anak-anaknya. Ketika perkembangan dunia menunjukkan kecenderungan mengglobal dengan titik orientasi ke dunia Barat, respons orang Bali dalam bentuk nama pun turut mengikuti. Maka, kemudian muncullah nama-nama yang berbau modern seperti Putu Desy Fridayanti, Made David Eka Putra atau pun Komang Diva Ananda. Secara ekstrem, perkembangan ini kemudian berpuncak kepada mulai ditanggalkannya nama-nama depan khas Bali itu.
Ada beberapa faktor penyebab mulai ditinggalkannya pemakaian nama depan khas Bali. Faktor pertama, sikap orang Bali yang malu sebagai minoritas. Dengan menggunakan nama khas Bali amat memperjelas mereka sebagai orang Bali. Sedangkan di Indonesia, kelompok minoritas termasuk orang Bali kerap kali sulit untuk bisa tampil di jajaran pemerintahan atau pun swasta di tingkat nasional. Agar tidak lagi ada penghalang untuk bersaing, maka orang-orang Bali menanggalkan nama-nama tradisi itu.
Hal ini juga menjadi salah satu motivasi Putu Edi Robin tidak lagi menggunakan nama depan khas Bali untuk nama anak-anaknya. Mantan mahasiswa aktivis ini mengungkapkan, bila sudah diketahui sebagai orang Bali, tidak jarang orang Bali sudah langsung disingkirkan sebelum bersaing. ”Kita mesti jujur mengakui, masalah minoritas dan mayoritas di Indonesia belum sepenuhnya bisa didamaikan,” kata aktivis Hindu ini.
Memang, sejumlah orang Bali yang sukses di Jakarta kerap kali menuliskan namanya tanpa nama depan khas Bali. Sekjen Mahkamah Konstitusi, Anak Agung Oka Mahendra hanya menulis namanya dengan Oka Mahendra. Begitu juga penulis novel dan penyair Ida Ayu Oka Rusmini hanya menuliskan namanya dengan Oka Rusmini, begitu juga wartawan senior Raka Santeri, gitaris kondang Dewa Budjana serta penyanyi muda Saras Dewi. Meski begitu, ada juga orang-orang Bali yang meski masih menggunakan nama depan khas Bali namun tetap bisa sukses di persaingan nasional. Wartawan senior Putu Setia tetap percaya diri menuliskan nama Putu, sastrawan Putu Wijaya, Putu Gde Ary Suta serta sejumlah nama lainnya lagi.
Selain motivasi ingin mengglobal, pergeseran dalam penggunaan nama orang Bali itu juga sebagai cermin perlawanan terhadap kasta. Munculnya semacam keberanian orang Bali dari golongan Jaba (yang diidentikkan sebagai kasta terendah) memakai nama Bagus atau Ngurah sebagai nama depan anaknya. Ada orang Bali kini menggunakan nama I Ngurah Suryawan, Bagus Antara atau pun Agung Mirah Prayoga. Padahal, dalam tradisi orang Bali, nama-nama Ngurah, Bagus atau Agung ”hanya boleh” digunakan orang-orang dari golongan berkasta.
Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya. Ketika terjadi perlawanan terhadap kasta, tumbuh kecenderungan untuk meninggalkannya agar tidak lagi ada sekat-sekat kasta.
Menariknya, manakala orang Bali-Hindu sendiri mulai tidak lagi tertarik mempertahankan tradisi pemakian nama-nama depan khasnya, orang lain yakni orang non-Hindu yang tinggal di Bali termasuk orang asing justru menggunakannya dengan bangga. Orang-orang Islam di desa Pegayaman, Buleleng justru memelihara tradisi menggunakan nama khas Bali ini, sehingga muncul nama Ketut Syahruwardi Abbas,I Nengah Ibrahami atau pun Made Mohammad Saleh. Begitu juga orang-orang Kristen di Bali yang dengan bangga menggunakan nama Wayan Yusuf, Fransiscus Made Agus Hanzantha dan lainnya.
Bahkan, orang-orang asing tanpa merasa malu, kuno atau kalah bersaing malah memburu nama-nama khas Bali itu. Sejarah Bali mencatat dengan jelas seorang wanita asal Skotlandia, Vanina Walker yang memperkenalkan kemolekan Pulau Bali sehingga sangat cocok sebagai daerah tujuan wisata dengan bangga menggunakan nama Ketut Tantri dalam bukunya, Revolusi di Nusa Damai. * I Made Sujaya

Baca Selengkapnya..

PKB dan Dokumentasi Kebudayaan Bali


Catatan I Made Sujaya

PESTA Kesenian Bali (PKB) yang diarsiteki Prof. Dr. Ida Bagus Mantra memang lebih dari sekadar sebuah ide cerdas. Gelaran budaya ini memang sebuah strategi kebudayaan yang penuh perhitungan dari seorang pemikir kebudayaan yang kebetulan saat itu menjabat Gubernur Bali. Betapa tidak, PKB digarap pada awal masa kepemimpinan Mantra. Artinya, Mantra memang menempatkan kebudayaan sebagai landasan dasar pembangunan Bali.

Seperti tercantum dalam bukunya berjudul, Landasan Kebudayaan Bali, Mantra meniatkan PKB sebagai sebuah upaya penggalian semua potensi budaya tradisi Bali untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui revitalisasi, kegiatan menghidupkan kembali unsur-unsur yang potensial, sehingga tradisi yang luhur ikut serta dalam upaya-upaya pembangunan sebagai pendorong yang menjiwainya. Dalam pesta seni, semua pihak akan dapat menyajikan perkembangan hasil-hasil karyanya sehingga mereka dapat menempati kedudukan yang sama dalam kemajuan.
Tujuan PKB ini kemudian diterjemahkan penyelenggara dengan kegiatan penggalian, pelestarian dan pengembangan kesenian Bali pada khususnya dan kebudayaan Bali pada umumnya. Seni-seni tradisi yang langka ditampilkan kembali, direvitalisasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat guna memelihara dan melestarikan seni tradisi tersebut. Selain itu, upaya mengasah daya kreasi, mencipta karya-karya seni baru dan bermutu dibangkitkan. Muaranya, kesenian Bali bisa terus berkembang dan semakin kaya tentunya.
Namun, selama 30 tahun perjalanannya, PKB lebih cenderung menjadi sebuah ajang pentas semata. PKB belum secara utuh bisa menerjemahkan aspek penggalian, pelestarian dan pengembangan kebudayaan Bali. Kegiatan penggalian, pelestarian dan pengembangan seyogyanya bukan sekadar sebuah upaya menghadirkan kembali. Namun juga sebuah upaya untuk merevitalisasi, menghidupkan kembali. Dan, menghidupkan kembali bukan untuk mati lagi, tetapi bisa tetap hidup, bahkan berkembang.
Dalam kaitan ini, dokumentasi menjadi hal yang amat penting. Dokumentasi bukan sekadar upaya untuk mengabadikan, tetapi lebih jauh dari itu adanya upaya penelitian, pemetaan dan pengkajian. Bagian ini, tampaknya belum mendapat perhatian besar dari penyelenggara PKB.
Selain memberikan kesempatan kepada seni-seni tradisi maupun modern untuk tampil, patut juga dilakukan penelitian, pemetaan dan pengkajian atas produk kesenian tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian, pemetaan dan pengkajian itu didokumentasikan secara lengkap dan utuh, baik dalam bentuk cetak (buku) maupun dalam bentuk dokumen audio-visual (film, kaset, foto dan sejenisnya).
Dokumentasi semacam ini amat berharga, tidak saja bagi orang Bali, tetapi juga orang luar (asing) yang hendak belajar kebudayaan Bali. Dengan dokumentasi yang baik, Bali tidak perlu lagi merengek-rengek meminta izin kepada negara asing untuk belajar kebudayaannya sendiri seperti yang selama ini terjadi.
Saya mendambakan saban pelaksanaan PKB penyelenggara menyediakan anggaran dan ruang bagi para peneliti, pengamat dan praktisi seni dan kebudayaan Bali untuk melakukan penelitian, penggalian, pemetaan, pengkajian serta pendokumentasian kebudayaan Bali. Selanjutnya, dokumentasi dari kerja budaya itu bisa diakses oleh publik. Tentu saja, kerja pendokumentasian seperti ini membutuhkan dana yang besar serta waktu yang lama. Karena itu, dalam setiap pelaksanaan PKB, cukup dipilih salah satu jenis kesenian atau tradisi budaya yang dimiliki masyarakat Bali. Misalnya, untuk PKB tahun 2009 mendatang, pendokumentasian difokuskan untuk kesenian Tari Sanghyang. Maka, dari sekarang kegiatan penggalian dan penelitian sudah dilakukan. Jenis-jenis Tari Sanghyang yang ada diinvetarisasi, diklasifikasi dan dipetakan secara jelas dan lengkap. Selanjutnya, dalam PKB 2009, hasil penelitian itu dikaji dalam suatu seminar khusus. Seminar ini tidak saja untuk mengkaji dari aspek keilmuan, tetapi juga mendapatkan masukan dari masyarakat dan seniman. Selain itu, tentu saja dirumuskan strategi pelestarian dan pengembangan kesenian tersebut. Setelah itu, barulah didokumentasikan dalam bentuk buku atau pun film. Tahun-tahun selanjutnya, langkah serupa juga seyogyanya diterapkan.
Bila langkah ini bisa dilakukan setiap pelaksanaan PKB, maka kekayaan seni dan budaya Bali akan bisa terselamatkan. Kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi yang lengkap, jelas dan tuntas mengenai kebudayaan Bali. Yang tak kalah pentingnya, generasi muda Bali akan dengan mudah memeriksa kekayaan seni dan budayanya dan diharapkan muncul kesadaran budaya untuk memikul tanggung jawab mengembangkan kebudayaannya. Bukankah PKB pada awalnya memang diniatkan sebagai media transformasi budaya kepada generasi muda Bali sehingga jadwal pelaksanaannya dipilih saat masa liburan sekolah? (*)

Baca Selengkapnya..

Tinggalkan komentar